Soal Pemborosan PLN
KOMPAS.com - Ketidakhadiran Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan memenuhi panggilan dari Komisi VII DPR sempat membuat heboh. Rapat pun tertunda. Padahal, rapat itu untuk menindaklanjuti laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan soal inefisiensi dalam PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada tahun 2009 dan 2010. Pemborosan itu saat Dahlan Iskan menjadi pemimpin PLN.
Dalam paparan BPK, terjadi inefisiensi dalam pengelolaan sektor hulu listrik hingga Rp 37 triliun. Pemborosan itu akibat PLN gagal memperoleh pasokan gas yang lebih murah dari bahan bakar minyak (BBM). Dalam kontrak gas antara PLN dan penyedia gas, tak ada sanksi tegas ketika pemasok tak dapat memenuhi gas ke perusahaan negara itu. PLN juga gagal membangun pembangkit baru berbahan bakar gas.
Pembengkakan anggaran merupakan kebijakan sadar PLN. Pasokan gas yang habis di beberapa pembangkit listrik PLN membuat manajemen mengucurkan tambahan dana membeli BBM. Di pembangkit Muara Tawar, misalnya, saat itu gas berkurang 100 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Sebab, pemerintah ingin gas lebih banyak untuk industri.
Akibatnya, krisis ketersediaan listrik di beberapa daerah. Solusi sesaat berupa penyediaan ribuan genset. Hal ini memicu konsumsi BBM. Pengoperasian genset dipilih PLN untuk target bebas pemadaman listrik nasional dan tambah pelanggan.
Persoalan inefisiensi PLN akibat kekurangan pasokan gas sebenarnya telah lama terjadi. Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) memaparkan, struktur industri pasar gas domestik yang tidak sehat turut memicu krisis ketersediaan.
Di sisi produksi, struktur industri gas nasional didominasi perusahaan migas multinasional (kontraktor kerja sama). Sebagian hasil produksi gas diekspor berbentuk LNG dan lewat pipa. Semuanya lantaran terikat komitmen jangka panjang jauh sebelum kebutuhan gas domestik besar seperti saat ini.
Sejauh ini penyediaan infrastruktur gas, baik jaringan pipa maupun fasilitas penerima LNG, berjalan lamban. Jika diproduksikan berbentuk LNG, investasi besar diperlukan. Pendanaannya harus dijamin kontrak jangka panjang, kontrak ekspor.
Di sisi konsumsi, porsi terbesar gas alam Indonesia diekspor dalam bentuk LNG, yakni 42,3 persen, sementara 10,2 persen diekspor melalui pipa. Dalam pemenuhan kebutuhan gas di dalam negeri, saat ini pemerintah memprioritaskan pemanfaatan gas untuk peningkatan produksi minyak, kemudian untuk sektor pupuk, kelistrikan, dan industri pengguna gas.
Pendapat :
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, dan PLN harus segera menindaklanjuti sejumlah rekomendasi BPK itu. Dan perlu membenahi tata niaga gas dan memenuhi kebutuhan pasokan gas bagi pembangkit.
Sumber : KOMPAS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar